Sunday, September 23, 2007

ARTIKEL ILMU




  1. PERKARA WAJIB LEBIH BAIK
    DARI PERKARA SUNNAH

    Orang yang disibukkan dengan amalan
    fardlu (wajib) sehingga tidak sempat
    mengamalkan yang sunnah maka ia dimaafkan,
    dan orang yang disibukkan dengan amalan
    sunnah dan mengabaikan amalan fardhu maka ia
    tertipu.

    Umar ibn Abdul Aziz mengatakan: "Amalan
    yang tidak didasarkan atas ilmu, maka kerusakan yang
    ia timbulkan lebih banyak dari kebaikan".
    Thariqah (tarekat) yang belakangan ini
    banyak digandrungi oleh masyarakat kita sebagai
    sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
    adalah sebuah amalan yang baik, namun bila
    tarekat itu dilakukan tanpa didasari ilmu yang
    benar maka seseorang akan mudah terjerumus.

    Karenanya tidak sedikit kita temukan tarekattarekat
    yang pada awalnya murni, bersih dari
    penyimpangan-penyimpangan dari syari'at Islam
    dan dirintis oleh ulama-ulama sufi yang hakiki,
    kini banyak mengalami perubahan yang mengarah
    kepada penyimpangan dari ajaran syari'at Islam.
    Ini semua terjadi karena dangkalnya ilmu orang
    yang menjalankan tarekat tersebut. Hingga
    sebagian orang meyakini bahwa tarekat adalah
    wajib atau dzikir secara mutlak adalah wajib.

    Bahkan dalam beberapa tarekat menyebar paham
    Hulul (keyakinan bahwa Allah menempati
    makhluk-Nya) dan Wahdatul Wujud (keyakinan
    bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya) yang
    merupakan salah satu bentuk kekufuran yang
    sangat keji dan parah, lebih parah dari kekufuran
    orang nasrani sekalipun seperti dijelaskan oleh
    Imam as-Suyuthi dan lainnya.

    Tarekat adalah upaya untuk meneladani
    akhlak para Ahlullah; para wali dan orang-orang
    saleh dan merutinkan dzikir-dzikir tertentu
    dengan cara tertentu yang tidak menyalahi syara'
    yang dicetuskan oleh pendiri tarekat. Tarekat
    bermuara kepada ketakwaan dan kesalehan yang
    sesungguhnya.

    Tarekat adalah pelengkap, modal
    utamanya adalah bertakwa, yaitu melaksanakan
    kewajiban dan menjauhi hal-hal yang
    diharamkan. Tarekat hukumnya sunnah artinya
    baik dilakukan tetapi tidak berdosa jika
    ditinggalkan. Kita jangan sampai menjadi orangorang
    yang tertipu karena mengikuti tarekat lalu
    amalan-amalan yang hukumnya wajib cenderung
    kita abaikan, seperti menuntut ilmu agama yang
    pokok misalnya.

    Menuntut ilmu agama jauh lebih besar nilai
    pahalanya dari pada mengamalkan tarekat, karena
    menuntut ilmu agama hukumnya wajib bagi
    setiap muslim dan muslimah.
    Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman
    melalui lisan Rasul-Nya:
    "Dan tidaklah ada amalan seorang hamba untuk
    mendekatkan diri kepada-Ku lebih Aku cintai dari
    amalan yang Aku wajibkan" (H.R. al Bukhari) .

    Para pembaca yang budiman...
    Buletin yang ada di tangan anda saat ini adalah salah satu
    ceramah seorang ulama besar, ahli hadits masa
    kini yang berasal dari daerah Habasyah di
    Somalia. Beliau adalah Syekh Abdullah al Harari
    al Habasyi. Meski singkat namun isinya sangat
    bermanfaat untuk kita jadikan bahan perenungan
    lalu kita amalkan. Selamat membaca !

    MENUNTUT ILMU AGAMA
    LEBIH DIDAHULUKAN DARI
    TAREKAT, DZIKIR DAN WIRID

    Allah ta'ala memuji ilmu dalam beberapa
    ayat al Qur'an dan menganjurkan untuk
    menuntutnya. Rasulullah shallallahu 'alayhi
    wasallam juga menjelaskan keutamaan ilmu. Ini
    dikarenakan ilmu, yakni ilmu agama dibutuhkan
    oleh seluruh lapisan masyarakat. Ilmu agama
    dibutuhkan oleh para penguasa, orang tua; ayah
    dan ibu. Tidak ada satu lapisan masyarakat-pun
    yang tidak membutuhkan ilmu agama.

    Oleh karenanya begitu urgen ilmu agama ini, terutama
    di masa sekarang yang dipenuhi dengan
    kebodohan. Ketidaktahuan tentang ilmu halal
    dan haram betul-betul telah mengenai secara
    merata terhadap segenap perbuatan dan aktivitas
    masyarakat. Ketika di masa lalu, di masa-masa
    kejayaan, masa para sahabat, tabi'in, atba' at
    Tabi'in dan setelahnya, ilmu agama banyak
    dipelajari, maka kondisi ummat Islam jauh lebih
    baik dari kondisi kita di masa kini.

    Oleh karenanya tuntutlah ilmu agama, jangan
    sampai tertipu oleh kebiasaan sebagian
    orang yang meninggalkan ilmu dan
    menyibukkan diri dengan tarekat, dzikir dan
    wirid. Dzikir jelas memerlukan ilmu, dzikir
    tidak bisa dilakukan tanpa ilmu. Demikian
    pula Ta'abbud, yakni memfokuskan diri
    berkonsentrasi untuk beribadah juga
    memerlukan ilmu.

    Sungguh jauh berbeda antara
    seorang 'Abid (ahli ibadah) dan seorang 'Alim.
    Cukup sebagai dalil untuk menjelaskan hal itu
    hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dalam Jami'
    at-Turmudzi yang diriwayatkan dengan sanad yang
    sahih dari Abu Umamah al Bahili –semoga Allah
    meridlainya- beliau mengatakan: "Ada dua orang
    di masa Rasulullah, satunya 'Abid dan satunya lagi
    'Alim, maka Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam
    mengatakan:

    "Keutamaan seorang 'Alim atas seorang
    'Abid adalah seperti keutamaanku di atas orang yang
    paling rendah derajatnya di antara kalian. Dan
    sesungguhnya Allah memberikan rahmat, para malaikat
    memohonkan ampun bahkan ikan-ikan di laut
    mendoakan untuk orang yang mengajarkan kebaikan
    kepada manusia" (H.R. at-Turmudzi) .

    Keutamaan yang demikian besar ini
    dikarenakan dengan ilmu agama Allah ta'ala
    memperbaiki kerusakan yang parah dan dengan
    ilmu agama Allah menyelamatkan banyak orang
    dari kebinasaan dan kehancuran. Perbandingan
    yang disebutkan dalam hadits di atas adalah
    antara seorang 'alim yang benar-benar 'alim dan
    seorang 'abid yang benar-benar 'abid. Sedangkan
    jika seorang 'alim tidak betul-betul berilmu dan
    beramal maka dia tidak memperoleh keutamaan
    tersebut. Demikian pula seorang 'abid jika
    ibadahnya tidak berdasarkan kaedah-kaedah syara'
    dan tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada
    maka ibadahnya seperti tidak ada sama sekali.

    Jadi 'abid yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu
    'alayhi wasallam adalah seorang yang mengetahui
    cara yang membuat ibadahnya sah, bukan orang
    yang beribadah secara ngawur tanpa mengetahui
    bagaimana bisa sah sholatnya, bersucinya dan
    seterusnya. Yustru orang seperti ini berada dalam
    kerusakan yang sangat berbahaya. 'Abid yang
    diperbandingkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi
    wasallam dengan 'alim adalah 'abid yang
    mengetahui cara ibadah yang sah.

    Karena agungnya keutamaan seorang 'alim,
    Nabi Isa 'alayhissalam ketika menjelaskan ciri
    ummat Muhammad mengatakan:
    "(Mereka adalah) orang-orang yang 'alim, pemaaf, baik
    dan bertaqwa, seakan mereka seperti para nabi dari sisi
    kedalaman pemahaman mereka terhadap agama" (H.R.
    Abu Nu'aym dalam Hilyah al Awliya')
    Nabi Isa tidak mengatakan: "Seakan mereka seperti
    para nabi dari sisi ibadahnya", melainkan beliau
    mengatakan: "Seakan mereka seperti para nabi dari
    sisi kedalaman pemahaman mereka terhadap agama",
    agar diketahui betapa mulianya ilmu dan betapa
    tinggi kedudukan para ulama di atas para 'abid,
    tetapi memang jika digabungkan antara ilmu
    dengan ibadah maka akan menjadi sebuah derajat
    yang sangat tinggi.

    Karena ilmu-lah yang menjelaskan tingkatantingkatan
    amal, amal yang utama dan yang paling
    utama, perbuatan yang haram dan yang makruh,
    maksiat yang termasuk tingkatan dosa besar dan
    dosa kecil, maka diketahui dengan jelas bahwa
    ilmu adalah amal yang paling baik. Ilmu lebih
    layak untuk menghabiskan waktu-waktu kita yang
    berharga dan ilmu adalah keinginan yang paling
    layak untuk diraih dan dicapai.

    Oleh karenanya
    kalian harus meraih ilmu, meskipun karena itu
    kalian banyak tidak meraih hal-hal yang biasa
    diinginkan oleh nafsu manusia. Karena kewalian
    yang sesungguhnya adalah berilmu dan
    mengamalkan ilmu.

    Orang yang membaca sejarah
    para ahli fiqih di masa-masa lalu dan menelaah
    perjalanan kehidupan mereka akan mengetahui
    hal itu dengan baik.

    Sebagai contoh seorang 'alim
    yang ahli dalam fiqih dan hadits Abu 'Amr ibn
    ash-Shalah asy-Syahrazuri ad-Dimasyqi yang
    hidup pada abad VI H. Pada sekitar dua puluh
    tahun yang lalu, kuburannya digali untuk
    dipindahkan karena di kawasan pekuburan
    tersebut hendak dibangun jalan yang baru. Ketika
    digali ditemukan jasad beliau yang masih utuh,
    tidak ada satupun bagian tubuhnya yang
    membusuk, bahkan kain kafan yang melilit
    jasadnya tidak rusak.

    Jasad tersebut kemudian
    dipindahkan ke kawasan Al Maydan di Damaskus
    dan dikebumikan di sana. Ibnu ash-Shalah ini di
    kalangan ummat Muhammad tidak setingkat dan
    sepopuler Imam Syafi'i, imam Malik dan imam
    Ahmad, tingkatan beliau dibanding mereka masih
    sangat jauh. Meskipun Ibnu ash-Shalah terkenal
    sebagai seorang ahli hadits dan ahli fiqh Syafi'i,
    namun beliau tidak sepopuler dan sekaliber imam
    Syafi'i, semoga Allah meridlai mereka semua.

    Ibnu ash-Shalah tidak memperoleh kemuliaan
    dan derajat yang tinggi ini kecuali dengan ilmu
    dan amal. Kisah tentang jasad Ibnu ash-Shalah
    yang masih utuh padahal telah berlalu ratusan
    tahun ini, diceritakan kepadaku oleh salah
    seorang ulama Damaskus, yaitu Syekh Abu
    Sulaiman az-Zabibi dan beliau mendengarnya
    dari Abdul Muta'aal, seorang penggali kuburan
    yang menyaksikan langsung peristiwa penggalian
    tersebut.

    Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, dan
    dosa saudara-saudara kami yang beriman yang
    telah mendahului kami.

    TAREKAT TIDAK WAJIB .

    Termasuk pemahaman yang keliru adalah
    perkataan sebagian orang yang mengaku-aku sufi:
    "Tarekat adalah wajib".
    Tarekat adalah salah satu bid'ah yang baik
    (Bid'ah Hasanah). Bid'ah secara bahasa berarti hal
    baru yang diadakan tanpa ada contoh
    sebelumnya. Sedangkan dalam pengertian syara'
    bid'ah berarti hal baru yang tidak dinash dalam al
    Qur'an ataupun sunnah, Ibnu al 'Arabi
    mengatakan: "Bid'ah dan Muhdats (perkara baru)
    tidak dicela karena lafazh dan maknanya,
    melainkan Bid'ah yang dicela adalah yang
    bertentangan dengan sunnah dan Muhdats yang
    dicela adalah yang membawa kepada kesesatan".

    Para ulama membagi bid'ah menjadi dua;
    bid'ah hasanah dan bid'ah sayyiah. Bid'ah hasanah
    adalah hal baru yang sesuai dengan al Qur'an dan
    sunnah. Bid'ah sayyiah adalah hal baru yang
    bertentangan dengan al Qur'an dan sunnah.

    Pembagian bid'ah ini diperkuat oleh hadits Nabi
    shallallahu 'alayhi wasallam:
    "Barang siapa merintis (memulai) dalam
    agama Islam perkara baru yang baik maka baginya
    pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang
    yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa
    berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa
    merintis dalam Islam perkara baru yang buruk maka
    baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang
    yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa
    berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun" (H.R.
    muslim) .

    Hadits ini menjelaskan bahwa hal baru dalam
    Islam ada dua macam; ada yang sesuai dengan
    syara' dan ada yang menyalahi dan bertentangan
    dengan syara'. Pada masa sahabat terjadi perkaraperkara
    baru yang tidak terdapat dalam al Qur'an
    atau sunnah, namun masuk pada pengertian
    bid'ah hasanah seperti dijelaskan oleh hadits
    tersebut.

    Disebutkan dalam Shahih al Bukhari pada
    bab shalat tarawih: "Ibnu Syihab berkata:
    "Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam meninggal
    dunia dan orang-orang (melaksanakan tarawih)
    seperti itu". Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan:
    "Yakni tidak berjama'ah dalam melaksanakan
    tarawih".

    Kemudian Ibnu Syihab
    menyempurnakan perkataannya: "Kemudian
    (pelaksanaan tarawih tetap) seperti itu pada masa
    khalifah Abu Bakar dan pada awal kekhalifahan
    Umar radliyallahu 'anhu". Menyempurnakan
    keterangan mengenai kejadian itu, dalam Shahih
    Bukhari diriwayatkan dari Abdullah ibn Abd al
    Qariy berkata: "Aku pergi ke masjid bersama
    Umar ibn al Khattab radliyallahu 'anhu pada salah
    satu malam bulan Ramadlan, di sana orang-orang
    terpisah-pisah dan berpencar-pencar, yang satu
    shalat sendiri dan yang lain shalat mengimami
    beberapa orang, kemudian Umar berkata: "Aku
    berpikir seandainya aku kumpulkan mereka
    dengan satu imam maka akan lebih bagus".

    kemudian beliau mengumpulkan mereka dengan
    imam Ubayy ibn Ka'ab. Pada malam yang lain,
    aku keluar lagi bersama beliau, dan orang-orang
    melaksanakan shalat dengan diimami imam
    mereka; Ubayy ibn Ka'ab, Umar mengatakan:
    " sebaik-baik bid'ah adalah ini.
    Dalam riwayat al Muwattha' disebutkan dengan
    redaksi hampir sama tapi tidak berbeda maknanya.

    Contoh-contoh semacam ini sangat banyak
    ditemukan dari masa sahabat sampai masa
    sekarang ini, termasuk di antaranya: peringatan
    maulid Nabi shallallahu 'alayhi wasallam dan
    tarekat-tarekat yang dirintis oleh beberapa wali
    Allah seperti Tarekat Rifa'iyyah, Tarekat
    Qadiriyyah dan lain-lain yang berjumlah sekitar
    40-an tarekat, tarekat-tarekat ini pada dasarnya
    adalah bid'ah hasanah meski kemudian beberapa
    pengikut-pengikutnya ada yang menyimpang,
    namun begitu hal ini tidak membuat jelek tarekat
    yang asli seperti pada awal mulanya.

    Tidak diragukan lagi bahwa Tarekat
    Suhrawardiyyah, Tarekat Chisytiyyah, Tarekat
    Qadiriyyah, Tarekat Sa'adiyyah, Tarekat
    Syadziliyyah, Tarekat Naqsyabandiyyah, Tarekat
    Badawiyyah, Tarekat Dasuqiyyah, Tarekat
    Maulawiyyah, Tarekat Rifa'iyyah dan lain-lain
    adalah tarekat-tarekat yang benar dan diberkahi,
    termasuk bid'ah hasanah, yang membuktikan
    bahwa mereka berada pada jalan yang lurus dan
    benar, menuntun umat manusia kepada ajaran
    nabi mereka dan kepada haliyyah nabi mereka,
    mereka adalah orang-orang yang berilmu, ahli
    dzikir dan ahwal serta selalu ta'at kepada Allah
    ta'ala.

    Perkataan di atas -bahwa tarekat adalah
    wajib- sering diulang-ulang oleh seseorang yang
    mengaku-aku sebagai pengikut Tarekat
    Naqsyabandiyyah yang bernama Muhammad al-
    Khaznawi, ia adalah anak as-Syaikh al 'Alim al
    Jalil 'Izzudin ibn as-Syaikh al Waliy al Kabir
    Ahmad al Khaznawi rahimahumaallahu ta'ala.

    Meski dikatakan kepadanya: "Ayahmu berkata:
    "Tarekat tidak wajib", tapi ia tetap saja
    mengulang-ulang perkataannya itu dan tidak mau
    bartaubat, hal ini disaksikan oleh banyak orangorang
    yang terpercaya (tsiqat), dan orang-orang
    yang mengaku pengikutnya juga sering
    mengucapkan perkataan yang sama.

    Perkataannya bahwa tarekat adalah wajib
    (fardlu) adalah riddah (mengeluarkan dari Islam),
    karena mewajibkan sesuatu yang tidak wajib
    menurut umat Islam dan termasuk hal yang
    diketahui oleh seluruh umat baik yang alim atau
    yang awam bahwa sesuatu itu tidak wajib, maka
    itu adalah kemurtadan sebagaimana dikatakan
    oleh para fuqaha dalam kitab-kitab mereka.

    Dalam kitab as-Sa'adah al Abadiyyah fi Ma Ja-a
    bihi an-Naqsyabandiyyah karangan Abdul Majid ibn
    Muhammad al Khani al Khalidi an-Naqsyabandi
    dan kitab al Hadiqah an-Nadiyyah Wal Bahjah al
    Khalidiyyah karangan al 'Allamah Muhammad ibn
    Sulaiman al Baghdadi al Hanafi an-Naqsyabandi
    termasuk khalifah Naqsyabandiyyah Khalidiyya terdapat keterangan sebagai berikut:

    "Yang ketiga
    adalah bahwa Ibnu Hajar menyebutkan dalam
    Syahadat Fatawahu al Kubra bentuk-bentuk
    perjanjian (al 'Ahd) yang dibuat oleh para
    masyayikh terhadap orang yang bertaubat, dan
    beliau berkata dalam al Fatawa al Khaliliyyah bahwa
    membuat perjanjian taat (Akhdzu al 'Ahd –baiat
    tarekat-) adalah hal baik dan disenangi".
    Kemudian penulis mengatakan setelah
    perkataannya tersebut: "Apa yang kami sebutkan
    tadi telah cukup sebagai bukti tentang kebaikan
    membuat perjanjian (Akhdzu al 'Ahd –baiat
    tarekat-) dari para masyayikh yang selalu
    mengamalkan syari'at".

    Jadi dari sini, jelas bahwa
    Muhammad al Khaznawi telah menyalahi ijma'
    umat pada umumnya, dan khususnya dari
    kalangan an-Naqsyabandiyyah, dan perkataannya
    bahwa tarekat adalah wajib adalah upaya
    penyesatan terhadap seluruh umat Islam baik salaf
    atau khalaf sebelum abad ke-6 Hijriyyah, sebelum
    berdirinya tarekat-tarekat sebagaimana pengertian
    yang dikenal sekarang ini, perkataannya itu adalah
    penyesatan kepada kakeknya al Wali al Kabir as-
    Syaikh Ahmad al Khaznawi, karena beliau
    tidak menyibukkan diri dengan tarekat dan
    wirid kecuali setelah mempelajari ilmu
    agama selama 20 tahun.

    Perkataan Muhammad
    ini mewajibkan perkara yang tidak wajib secara
    ijma', dan ini adalah kekufuran.

    BIOGRAFI SINGKAT
    AL MUHADDITS SYEKH ABDULLAH
    AL HARARI
    NAMA DAN KELAHIRAN

    Seorang alim besar, panutan para ahli tahqiq,
    rujukan para ahli tadqiq, pemuka ulama 'amilin, Al-Imam
    Al-Muhaddits, seorang yang bertaqwa dan zuhud,
    mempunyai keutamaan dan tekun beribadah, mempunyai
    keistimewaan yang agung, beliau adalah Syekh Abu Abd
    Al-Rahman Abdillah Ibn Yusuf Ibn Abdillah Ibn Jami'
    Al-Harari al-Syaibi Al-Abdari, mufti wilayah Harar.
    Beliau dilahirkan di kota Harar, sekitar tahun 1328
    H/1910 R.

    KEHIDUPAN DAN RIHLAH ILMIAH

    Beliau lahir dan dibesarkan dalam keluarga
    sederhana yang cinta ilmu dan ulama. Beliau membaca
    Al-Qur'an dengan tartil dan baik sejak umur 7 tahun,
    dan bahkan pada usia yang masih terbilang dini itu
    beliau hafal al-Qur'an 30 Juz di luar kepala. Beliau
    belajar dari ayahnya kitab Al-Muqaddimah al-
    Hadlramiyyah dan kitab Al-Mukhtashar ash-Shaghir,
    yang termasuk kitab fiqih yang masyhur di daerahnya.
    Kemudian beliau mendalami berbagai bidang keilmuan
    dengan menghafal berbagai matan ilmu agama.

    Kemudian beliau memfokuskan diri pada bidang
    hadits dan beliau hafal Al-Kutub Al-Sittah (6
    referensi induk dalam bidang hadits) dan kitab-kitab
    hadits lainnya beserta sanadnya hingga beliau
    diperbolehkan berfatwa dan meriwayatkan hadits
    dalam usia kurang dari 18 tahun.

    Beliau tidak hanya belajar pada ulama negerinya
    dan sekitarnya, malainkan mengelilingi Habasyah dan
    Somalia untuk memperoleh ilmu dan mendengar
    langsung dari para ahlinya. Dalam perjalanannya
    mencari ilmu, beliau banyak menghadapi rintangan,
    namun hal itu tidak menjadikannya patah semangat.
    Bahkan setiap kali beliau mendengar adanya seorang
    alim, beliau langsung pergi menemui dan menimba ilmu
    kepadanya, sebagaimana kebiasaan ulama salaf.

    Kecerdasan dan kekuatan hafalannya yang luar biasa
    sangat membantu beliau untuk mendalami dan
    menguasai fiqih madzhab Syafi'i serta khilaf
    (perbedaan pendapat) yang ada dalam madzhab Syafi'i.

    Seperti halnya beliau menguasai fiqh Syafi'i, demikian
    juga beliau menguasai madzhab Maliki, Hanafi dan
    Hanbali, sehingga beliau menjadi rujukan para ulama.
    Banyak yang datang kepadanya dari berbagai penjuru
    Habasyah dan Somalia hingga beliau diangkat sebagai
    mufti Harar dan sekitarnya.

    Beliau belajar fiqih Syafi'i dan ushulnya serta
    nahwu kepada seorang alim Al-'Arif billah Syekh
    Muhammad 'Abd As-Salam Al-Harari, Syekh
    Muhammad 'Umar Jami' Al-Harari, Syekh Muhammad
    Rasyad Al-Habasyi, Syekh Ibrahim Abi Al-Ghayts Al-
    Harari, Syekh Yunus Al-Habasyi, Syekh Muhammad
    Siraj Al-Jabarti. Di antara kitab-kitab yang beliau
    pelajari dari mereka adalah Alfiyyah Az-Zubad, At-
    Tanbih, Al-Minhaj, Alfiyyah ibn Malik, Al-Luma'
    karangan Asy-Syairazi dan kitab-kitab referensi
    lainnya.

    Beliau belajar ilmu-ilmu kebahasaan Arab secara
    khusus dari beberapa ulama, di antaranya Syekh yang
    shalih Ahmad Al-Bashir, Syekh Ahmad Ibn Muhammad
    Al-Habasyi dan ulama lainnya. Beliau mempelajari fiqih
    tiga madzhab dan Ushul fiqih-nya kepada Syekh
    Muhammad al 'Arabi al Fasi, Syekh Abdur Rahman al
    Habasyi. Beliau belajar ilmu tafsir kepada Syekh Syarif
    Al-Habasyi di Jimmah.

    Beliau belajar hadits dan musthalahnya dari
    beberapa ulama, di antaranya Syekh Abu Bakr
    Muhammad Siraj al-Jabarti; Mufti Habasyah, dan
    Syekh 'Abd 'Al-Rahman Abdullah Al-Habasyi.
    Beliau bertemu dengan Syekh yang shalih,
    seorang ahli hadits dan qori', Ahmad 'Abd Al-
    Muththalib Al-Jabarti Al-Habasyi, Syekh qira'at di
    Masjid Al-Haram.

    Beliau belajar kepadanya 14 macam
    qira'at, mendalami ilmu hadits dan mendapat ijazah
    (sanad keilmuan) darinya. Kemudian ketika beliau di
    Damaskus, beliau menuntut ilmu dari Syekh Dawud Al-
    Jabardi Al-Qari' dan Syekh Al-Muqri' Mahmud Fayiz
    Al-Dir'athani, seoarang alim pendatang di Damaskus
    dan pakar qira'at sab'ah.

    Pada usia muda, beliau telah mengajarkan ilmu
    kepada muridnya yang dia ntara mereka ada yang
    usianya lebih tua dari beliau. Jadi disamping belajar
    beliau juga mengajar.

    Beliau mempunyai keistimewaan dibanding ulama
    lainnya yang berada di negeri Habasyah dan Somalia
    dalam penguasaan tentang biografi periwayat hadits
    (ruwatul hadits), Thabaqot (tingkatan) mereka,
    menghafal matan-matan kitab, mendalami ilmu hadits,
    bahasa arab, tafsir, faraidl dan sebagainya, sehingga
    beliau tidak menemukan disiplin ilmu Islam kecuali
    mendalaminya dan mumpuni dalam bidang tersebut.

    Terkadang apabila beliau berbicara mengenai disiplin
    ilmu tertentu, orang yang mendengarnya akan mengira
    bahwa beliau hanya mendalami ilmu tersebut
    disebabkan kedalaman ilmunya.

    Begitu pula apabila dikatakan kepadanya sesuatu
    yang beliau ketahui, maka beliau mendengarkannya
    dengan seksama dan penuh perhatian. Sebagiamana
    perkataan seorang penyair:
    "kau lihat dia mendengarkan perkataan orang
    dengan pendengaran dan hatinya, padahal bisa jadi dia
    lebih tahu tentang hal tersebut".

    Kemudian beliau pergi menuju Makkah dan
    berkenalan dengan para ulama Makkah, seperti As-
    Sayyid 'Alawi al Maliki, Syekh Amin al Kutbi, Syekh
    Muhammad Yasin al Fadani. Beliau juga menghadiri
    majelis Syekh Muhammad al 'Arabi at-Tabban. Beliau
    mendatangi Syekh Abdul Ghafur al Afghani an-
    Naqsyabandi dan mengambil darinya Tarekat
    Naqsyabandiyyah.

1 comment:

INDRO SAKSONO said...

Mohon tanggapan atas Hadits Rasulullah yang di riwayatkan oleh Baihaqi dalam kitab Sya'bul iman sebagai berikut :

Qola Rosuulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam :
“Alaikum bil ibaazis suufi tajiduu khilaawatal iimaani fii quluubikum”
(‘an abi Amaamah –Rowahul Baihaqi fii sya’bul iman)

artinya , bersabda Rasulullah shollalloohu ‘alaihi wa aalihi wasallam :
“ Lazimkanlah atasmu memakai tasawwuf, kamu akan menemukan manisnya iman di dalam hatimu ”.